Syurga dibawah Telapak Kaki Ibu
Bagi anak yang masih kecil, ibu adalah segalanya.Bila ditanyakan padanya, siapa yang paling ia sayangi. Hampir semua anak akan menjawab, ibu. Wajar, karena hampir seluruh kebutuhannya bergantung pada ibu. Ia tidak peduli seperti apa ibunya. Baik, lemah lembut tutur bahasanya atau kasar dan keras hatinya. Ibu tetaplah orang yang paling dicintainya. Ketika ibu tak ada di sisinya, sang anak pasti kehilangan dan menangis.
Hanya saja, waktu akan cepat berlalu, anakpun dengan cepat bertambah usia. Dan hatinya tidak lagi “terkekang” oleh cinta seorang Ibu. Banyak “tawaran” cinta di luar rumah yang akan didapatnya. Seorang anak akan mulai menerjemahkan cinta sesuai dengan kebutuhannya. Bila cinta ibu kalah bersaing, tidak akan cukup air mata untuk mengembalikannya ke dalam pelukan.
Lebih Utama
Hakikat kodrati ibu, siapapun dan dimanapun, telah menjadikannya sosok yang tiada bandingannya. Bayangkan saja, sembilan bulan lamanya ia rela bersusah payah ‘menggendong’ buah hatinya kemanapun ia pergi. Makin hari bebannya pun makin berat. Belum lagi saat kelahiran si kecil, ibu rela mempertaruhkan nyawanya.
Lalu selama dua tahun, ibu menyusuinya, mengasuh, membelai dan membimbingnya hingga ia bisa mandiri. Ibulah yang pertama-tama mengajarkan berbagai kosa kata, warna, mendendangkan lagu, membacakan cerita, dan sebagainya. Ibu adalah sosok pertama yang mengenalkannya pada Sang Khalik dan mendekatkannya pada lingkungan. Begitu besar amanah yang dipikul seorang ibu.
Pernah suatu ketika nabi Muhammad Saw bertanya kepada seorang laki-laki : ”Apakah Anda sangat ingin masuk surga? Surga yang sangat anda inginkan itu terletak di bawah kaki para ibu.” Dengan tegas Rasul Saw bersabda : Aljannatu tahta aqdaamil ummahaati yang artinya surga itu terletak di bawah kaki ibu. Kata-kata tersebut menjadi semboyan kemegahan kaum ibu. Rasulullah Saw menunjukkan penghormatannya pada kaum ibu dan meninggikan kedudukan kaum ibu. Kisah kepahlawan seorang Ibu pun menjadi perhatian penting dalam tapak sejarah, seperti Al-Khansa yang sanggup memotivasi dan menghantarkan putra-putranya mati syahid atau Siti Masyithoh yang menerjemahkan kasih sayangnya dengan membawa putra-putranya “ikut” bersama menemui Khalik demi mempertahankan keimanannya.
Karena itulah Rasul Saw memerintahkan seluruh umatnya untuk menghormati wanita, sebagaimana sabdanya : Maa akramannisa a illa kariimu wa la ahaanahunna illa laiimun. Artinya, ‘Yang memuliakan wanita, hanyalah orang yang mulia, dan yang menghinakan wanita, hanyalah orang yang hina.’ Dan Islam menempatkan kewajiban berbakti kepada ibu melebihi kewajiban berbakti terhadap ayah. Dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu berkata: Seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?”Beliau menjawab, “Ibumu.”Tanyanya lagi, “Kemudian siapa?”
Beliau menjawab, “Ibumu.” Tanyanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, Ibumu” Kemudian tanyanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Bapakmu.”
(Muttafaq ‘alaih).
Permasalahannya adalah bagaimana agar anak-anak tumbuh menjadi anak-anak yang sholih yang bersikap baik pada orang tuanya, terutama ibunya dan menghormati kaum ibu. Inilah tanggung jawab kita.
Ibu Terbaik
”Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun.” (QS Luqman : 33)
Peringatan Allah tersebut mestinya menyadarkan kita agar segera ‘menolong’ anak-anak kita. Selama masih hidup, kita mesti bekerja keras menyelamatkan anak-anak agar tak tersentuh api neraka walau seujung rambut. Tidak mencukupkan diri sekedar menjadi ‘induk’ bagi anak-anak. Yang cukup memberi makan minum, menyiapkan tempat bernaung, memandikan. Dan anak pun tumbuh berkembang begitu saja. Bayi yang menggemaskan, lalu menjadi anak-anak yang masih lucu…kemudian berkembang menjadi pintar membangkang, dan jadi sosok yang menyebalkan. Alih-alih berbakti, malah suka meremehkan, mengejek dan memaki orang tua. Susah payah meregang nyawa saat melahirkan, banting tulang saat memenuhi kebutuhan anak, berbalas dengan pembangkangan. Sangat menyakitkan. Di dunia bagai musuh yang terus-menerus merongrong, di akhirat kelak bukannya menjadi tabungan atas kesholihannya, jusru mengantar ke neraka akibat kelalaian dalam pendidikan dan pengarahan.
Karena itu bersiaplah menjadi ibu terbaik bagi anak. Nikmatilah saat-saat mengandungnya. Meski segala kepayahan terasa melemahkan. Tanamkan rasa cinta pada anak dengan menyusuinya. Anak akan mendengar detak jantung ibunya, dan ia sudah bisa merasakan cinta ibu, luar biasa. Cobalah mengerti setiap reaksinya. Lakukan pendekatan paling baik ketika menyampaikan pesan. Dampingi saat anak dalam kesulitan. Asahlah kepribadiannya agar tumbuh menjadi bagian dari generasi terbaik.
Bukankah kita menginginkan anak-anak tumbuh menjadi anak yang istimewa, lalu apa yang membuat kita enggan mengupayakannya. Menemani bermain menjawab pertanyaannya yang tiada habis-habisnya. Sayang sekali bila kita lebih menuruti rasa lelah setelah seharian bekerja keras. Ketika bertemu dengan kerewelan anak, kita lebih memilih menghindarinya.
Ketika anak melakukan kesalahan, seringkali kita menakut-nakuti anak dengan kata-kata “Ridho Allah ada pada ridho Ibu lho”, “Surga berada di telapak kaki Ibu lho”. Padahal yang kita inginkan adalah kesholihannya, bukan ketaatan karena takut pada ibunya. Kelak bila ibu telah tiada, maka tak ada rasa takut dan tak ada pula ketaatan. Na’udzubillahi min dzalika.
Senantiasa kita ingat bahwa tugas utama ibu adalah mendidik anak-anaknya. Agar bisa mentransfer ilmu dan karakter penghuni surga kepada mereka. Agar hati mereka penuh dengan rasa rinda pada surga-Nya. Benar-benar tidak mudah, sewajarnya apabila ibu menuai pahala tak terputus dari anak-anak sholihnya.
Hanya saja, waktu akan cepat berlalu, anakpun dengan cepat bertambah usia. Dan hatinya tidak lagi “terkekang” oleh cinta seorang Ibu. Banyak “tawaran” cinta di luar rumah yang akan didapatnya. Seorang anak akan mulai menerjemahkan cinta sesuai dengan kebutuhannya. Bila cinta ibu kalah bersaing, tidak akan cukup air mata untuk mengembalikannya ke dalam pelukan.
Lebih Utama
Hakikat kodrati ibu, siapapun dan dimanapun, telah menjadikannya sosok yang tiada bandingannya. Bayangkan saja, sembilan bulan lamanya ia rela bersusah payah ‘menggendong’ buah hatinya kemanapun ia pergi. Makin hari bebannya pun makin berat. Belum lagi saat kelahiran si kecil, ibu rela mempertaruhkan nyawanya.
Lalu selama dua tahun, ibu menyusuinya, mengasuh, membelai dan membimbingnya hingga ia bisa mandiri. Ibulah yang pertama-tama mengajarkan berbagai kosa kata, warna, mendendangkan lagu, membacakan cerita, dan sebagainya. Ibu adalah sosok pertama yang mengenalkannya pada Sang Khalik dan mendekatkannya pada lingkungan. Begitu besar amanah yang dipikul seorang ibu.
Pernah suatu ketika nabi Muhammad Saw bertanya kepada seorang laki-laki : ”Apakah Anda sangat ingin masuk surga? Surga yang sangat anda inginkan itu terletak di bawah kaki para ibu.” Dengan tegas Rasul Saw bersabda : Aljannatu tahta aqdaamil ummahaati yang artinya surga itu terletak di bawah kaki ibu. Kata-kata tersebut menjadi semboyan kemegahan kaum ibu. Rasulullah Saw menunjukkan penghormatannya pada kaum ibu dan meninggikan kedudukan kaum ibu. Kisah kepahlawan seorang Ibu pun menjadi perhatian penting dalam tapak sejarah, seperti Al-Khansa yang sanggup memotivasi dan menghantarkan putra-putranya mati syahid atau Siti Masyithoh yang menerjemahkan kasih sayangnya dengan membawa putra-putranya “ikut” bersama menemui Khalik demi mempertahankan keimanannya.
Karena itulah Rasul Saw memerintahkan seluruh umatnya untuk menghormati wanita, sebagaimana sabdanya : Maa akramannisa a illa kariimu wa la ahaanahunna illa laiimun. Artinya, ‘Yang memuliakan wanita, hanyalah orang yang mulia, dan yang menghinakan wanita, hanyalah orang yang hina.’ Dan Islam menempatkan kewajiban berbakti kepada ibu melebihi kewajiban berbakti terhadap ayah. Dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu berkata: Seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?”Beliau menjawab, “Ibumu.”Tanyanya lagi, “Kemudian siapa?”
Beliau menjawab, “Ibumu.” Tanyanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, Ibumu” Kemudian tanyanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Bapakmu.”
(Muttafaq ‘alaih).
Permasalahannya adalah bagaimana agar anak-anak tumbuh menjadi anak-anak yang sholih yang bersikap baik pada orang tuanya, terutama ibunya dan menghormati kaum ibu. Inilah tanggung jawab kita.
Ibu Terbaik
”Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun.” (QS Luqman : 33)
Peringatan Allah tersebut mestinya menyadarkan kita agar segera ‘menolong’ anak-anak kita. Selama masih hidup, kita mesti bekerja keras menyelamatkan anak-anak agar tak tersentuh api neraka walau seujung rambut. Tidak mencukupkan diri sekedar menjadi ‘induk’ bagi anak-anak. Yang cukup memberi makan minum, menyiapkan tempat bernaung, memandikan. Dan anak pun tumbuh berkembang begitu saja. Bayi yang menggemaskan, lalu menjadi anak-anak yang masih lucu…kemudian berkembang menjadi pintar membangkang, dan jadi sosok yang menyebalkan. Alih-alih berbakti, malah suka meremehkan, mengejek dan memaki orang tua. Susah payah meregang nyawa saat melahirkan, banting tulang saat memenuhi kebutuhan anak, berbalas dengan pembangkangan. Sangat menyakitkan. Di dunia bagai musuh yang terus-menerus merongrong, di akhirat kelak bukannya menjadi tabungan atas kesholihannya, jusru mengantar ke neraka akibat kelalaian dalam pendidikan dan pengarahan.
Karena itu bersiaplah menjadi ibu terbaik bagi anak. Nikmatilah saat-saat mengandungnya. Meski segala kepayahan terasa melemahkan. Tanamkan rasa cinta pada anak dengan menyusuinya. Anak akan mendengar detak jantung ibunya, dan ia sudah bisa merasakan cinta ibu, luar biasa. Cobalah mengerti setiap reaksinya. Lakukan pendekatan paling baik ketika menyampaikan pesan. Dampingi saat anak dalam kesulitan. Asahlah kepribadiannya agar tumbuh menjadi bagian dari generasi terbaik.
Bukankah kita menginginkan anak-anak tumbuh menjadi anak yang istimewa, lalu apa yang membuat kita enggan mengupayakannya. Menemani bermain menjawab pertanyaannya yang tiada habis-habisnya. Sayang sekali bila kita lebih menuruti rasa lelah setelah seharian bekerja keras. Ketika bertemu dengan kerewelan anak, kita lebih memilih menghindarinya.
Ketika anak melakukan kesalahan, seringkali kita menakut-nakuti anak dengan kata-kata “Ridho Allah ada pada ridho Ibu lho”, “Surga berada di telapak kaki Ibu lho”. Padahal yang kita inginkan adalah kesholihannya, bukan ketaatan karena takut pada ibunya. Kelak bila ibu telah tiada, maka tak ada rasa takut dan tak ada pula ketaatan. Na’udzubillahi min dzalika.
Senantiasa kita ingat bahwa tugas utama ibu adalah mendidik anak-anaknya. Agar bisa mentransfer ilmu dan karakter penghuni surga kepada mereka. Agar hati mereka penuh dengan rasa rinda pada surga-Nya. Benar-benar tidak mudah, sewajarnya apabila ibu menuai pahala tak terputus dari anak-anak sholihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar