Bangga Jadi Ibu Rumah Tangga
“Saya cuma ibu rumah tangga.” jawab seorang ibu dengan tersenyum malu, tatkala ditanya tentang pekerjaannya. Sungguh beda, bila ibu tadi memberikan jawaban yang lain seperti misalnya, “Saya adalah dokter, guru, karyawan atau lainnya…” Dan biasanya jawaban ini disertai dengan senyum bangga. Apakah menjadi ibu rumah tangga itu memalukan dan tidak membanggakan?
Memasak, cuci, seterika, bersih-bersih rumah, bermain dengan anak, menyuapi makanan, siapa sih yang tak bisa melakukannya? Tanpa harus sekolah tinggi pun tak ada kesulitan. Benarkah demikian?
Kebanyakan orang mengira seorang wanita akan bisa menjalankan peran ibu begitu saja secara naluriah. Jika mengasuh anak hanya sekadar supaya mereka tumbuh besar sih, mudah. Tetapi untuk mendapatkan anak yang berkepribadian tinggi dan berakhlaq mulia, sama sekali bukan pekerjaan gampang. Tak ada jaminan gelar profesor akan membuatnya mampu.
Mengingat pendidikan anak sangat menentukan kualitas generasi masa depan ummat, maka menyepelekan peran ibu sangat berbahaya. Kenyataan membuktikan, bahwa kualitas generasi penerus ummat Islam berbanding lurus dengan kualitas ibunya.
Akar Masalah
Hingga saat ini, peran ibu rumah tangga belum ditempatkan pada posisinya yang tinggi. Beberapa penyebabnya adalah :
1. Kehidupan yang materialistis.
Apa yang menempati posisi paling penting dalam kehidupan saat ini? Kebanyakan orang akan menjawab, uang. Karena dengan uang, apapun dapat diperoleh. Begitu pentingnya arti uang bagi kehidupan sekarang menumbuhkan kenyataan bahwa masyarakat hanya menghargai pekerjaan-pekerjaan yang menghasilkan uang. Lahan- pekerjaan yang “basah” menjadi rebutan orang, sementara pekerjaan mulia yang bergaji kecil tak diminati kecuali bagi mereka yang tak memiliki pilihan lain. Apalagi lahan kerja rumah tangga yang tak menjanjikan gaji.
Pola hidup materialistis telah membuat orang menghormat uang dan mereka yang ber-uang. Ada uang, ada peluang. Bahkan harga diri pun diukur lewat keberadaan uang. Wajar, jika harga diri ibu rumah tangga pun terpuruk karenanya.
2. Tidak adanya pengakuan.
Salah satu pendukung tumbuhnya rasa percaya diri adalah faktor pengakuan dari lingkungan. Bila para wanita tidak percaya diri sebagai ibu rumah tangga, salah satu sebabnya memang karena banyak elemen masyarakat yang kurang bisa memberikan penghormatan kepada peran mulia ini.
Media massa, baik cetak maupun elektronik, penuh dengan artikel tentang keberhasilan karir kaum wanita di luar rumah. Gambar iklan senantiasa menampilkan wanita-wanita kantoran yang keren dan trendy. Kalaupun ada ibu rumah tangga, itu sekedar iklan sabun cuci.
Belum lagi merebaknya pandangan bahwa semua yang berbau modern adalah berasal dari dunia Barat. Padahal, dunia mereka cenderung mendiskreditkan keluarga. Keluarga dianggap sebagai pembatas kebebasan wanita, kian banyak orang benci pada pernikahan. Keluarga sebagai institusi sudah dianggap tak perlu. Keinginan hubungan seks maupun punya anak pun bisa diperoleh tanpa nikah. Perlahan (tapi pasti) peran ibu rumah tangga akan terhapus jika kecenderungan ini tak dihentikan.
Di sisi lain, para suamipun masih banyak yang belum bisa menghargai peran istrinya ini. Jangankan memberikan fasilitas kerja yang baik, memberi pujian pun tidak. Banyak yang berpendapat bahwa memang istri ditakdirkan untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Akibatnya, merasa tak perlu memberikan imbalan apa-apa. Merasa tak perlu juga turun tangan membantu jika sang istri kerepotan.
3. Kualitas ibu yang rendah.
Ibu yang suka ngerumpi, ghibah, shopping, cucimata, serta menghabiskan waktu menonton sinetron di televisi memang bukan kabar burung. Penyakit-penyakit ini banyak menjangkiti kaum ibu, baik di kota maupun di desa. Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi ini tidak terlepas dari faktor kurangnya pendidikan, opini suami dan masyarakat yang masih kurang menghargai istri. Hanya saja tidak adanya kesadaraan dari diri kaum ibu sendiri untuk memperbaiki diri menyebabkan citra ibu rumah tangga kian tercoreng.
Hebatnya Ibu
Pandangan miring terhadap peran ibu rumah tangga terlihat jelas dari banyaknya tuntutan yang diajukan oleh para feminis. Meski sebenarnya inti tuntutannya hanya satu, yaitu meminta persamaan hak dan kewajiban seperti pria.
Secara fisik dan mental tak dapat dipungkiri, wanita dan pria memang sangat berbeda. Wajar bila tugas, hak dan kewajiban kedua Makhluk Allah ini berbeda. Setiap yang diciptakan Allah selalu memiliki keistimewaan sendiri. Pria yang memiliki fisik jauh lebih kuat dari wanita, dapat menjadi pelindung, yang menjaga kehormatan seorang wanita. Dia pun dapat mencari nafkah untuk keluarganya, serta berjuang untuk menegakkan panji-panji agama Allah.
Sedang wanita? dengan kelembutan hati yang Allah karuniakan padanya, ia dapat memacu semangat suaminya dan kelurganya yang sedang berjuang. Dia pula yang menjaga rumah tangga dan kehormatan suaminya. Dari rahimnyalah terlahir mujahid-mujahid yang bahkan setingkat Abu Bakar Siddiq. Ditangannya pula terdidik pemimpin-pemimpin yang tangguh seperti Umar Bin Abdul Aziz, ulama-ulama yang hebat seperti Imam Syafi’i.
Wanita adalah makhluk Allah yang sangat hebat. Ingatlah hadits Rasulullah yang artinya, “Wanita adalah tiang negara, apabila dalam sebuah negara wanitanya baik, maka jayalah ia, namun apabila wanita di dalamnya buruk, maka hancurlah negara itu”.
Kehebatan seorang wanita makin tak terbantahkan kala Rasulullah memerintahkan kaum muslim untuk memuliakan kedudukan seorang ibu. Masih kurang kah semua itu? Semua itu lebih dari cukup. Bukankah tak ada yang paling mulia, selain mulia dihadapan Allah dan RasulNya?
Lihatlah keadaan yang selama ini terjadi, sekian banyak wanita yang meminta kebebasan meninggalkan rumah tangganya untuk mencari ketenaran diluar rumah. Buahnya, muncullah generasi yang kurang kasih sayang dan kelembutan seorang ibu. Akibatnya narkoba merajalela, tawuran di sana-sini, pergaulan bebas, seakan telah menjadi menu kita sehari-hari. Itukah wujud keperkasaan seorang wanita?
Bila demikian, masihkah kita merasa hina tinggal di rumah?
Oleh : Ustadzah Amin Justiana
Memasak, cuci, seterika, bersih-bersih rumah, bermain dengan anak, menyuapi makanan, siapa sih yang tak bisa melakukannya? Tanpa harus sekolah tinggi pun tak ada kesulitan. Benarkah demikian?
Kebanyakan orang mengira seorang wanita akan bisa menjalankan peran ibu begitu saja secara naluriah. Jika mengasuh anak hanya sekadar supaya mereka tumbuh besar sih, mudah. Tetapi untuk mendapatkan anak yang berkepribadian tinggi dan berakhlaq mulia, sama sekali bukan pekerjaan gampang. Tak ada jaminan gelar profesor akan membuatnya mampu.
Mengingat pendidikan anak sangat menentukan kualitas generasi masa depan ummat, maka menyepelekan peran ibu sangat berbahaya. Kenyataan membuktikan, bahwa kualitas generasi penerus ummat Islam berbanding lurus dengan kualitas ibunya.
Akar Masalah
Hingga saat ini, peran ibu rumah tangga belum ditempatkan pada posisinya yang tinggi. Beberapa penyebabnya adalah :
1. Kehidupan yang materialistis.
Apa yang menempati posisi paling penting dalam kehidupan saat ini? Kebanyakan orang akan menjawab, uang. Karena dengan uang, apapun dapat diperoleh. Begitu pentingnya arti uang bagi kehidupan sekarang menumbuhkan kenyataan bahwa masyarakat hanya menghargai pekerjaan-pekerjaan yang menghasilkan uang. Lahan- pekerjaan yang “basah” menjadi rebutan orang, sementara pekerjaan mulia yang bergaji kecil tak diminati kecuali bagi mereka yang tak memiliki pilihan lain. Apalagi lahan kerja rumah tangga yang tak menjanjikan gaji.
Pola hidup materialistis telah membuat orang menghormat uang dan mereka yang ber-uang. Ada uang, ada peluang. Bahkan harga diri pun diukur lewat keberadaan uang. Wajar, jika harga diri ibu rumah tangga pun terpuruk karenanya.
2. Tidak adanya pengakuan.
Salah satu pendukung tumbuhnya rasa percaya diri adalah faktor pengakuan dari lingkungan. Bila para wanita tidak percaya diri sebagai ibu rumah tangga, salah satu sebabnya memang karena banyak elemen masyarakat yang kurang bisa memberikan penghormatan kepada peran mulia ini.
Media massa, baik cetak maupun elektronik, penuh dengan artikel tentang keberhasilan karir kaum wanita di luar rumah. Gambar iklan senantiasa menampilkan wanita-wanita kantoran yang keren dan trendy. Kalaupun ada ibu rumah tangga, itu sekedar iklan sabun cuci.
Belum lagi merebaknya pandangan bahwa semua yang berbau modern adalah berasal dari dunia Barat. Padahal, dunia mereka cenderung mendiskreditkan keluarga. Keluarga dianggap sebagai pembatas kebebasan wanita, kian banyak orang benci pada pernikahan. Keluarga sebagai institusi sudah dianggap tak perlu. Keinginan hubungan seks maupun punya anak pun bisa diperoleh tanpa nikah. Perlahan (tapi pasti) peran ibu rumah tangga akan terhapus jika kecenderungan ini tak dihentikan.
Di sisi lain, para suamipun masih banyak yang belum bisa menghargai peran istrinya ini. Jangankan memberikan fasilitas kerja yang baik, memberi pujian pun tidak. Banyak yang berpendapat bahwa memang istri ditakdirkan untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Akibatnya, merasa tak perlu memberikan imbalan apa-apa. Merasa tak perlu juga turun tangan membantu jika sang istri kerepotan.
3. Kualitas ibu yang rendah.
Ibu yang suka ngerumpi, ghibah, shopping, cucimata, serta menghabiskan waktu menonton sinetron di televisi memang bukan kabar burung. Penyakit-penyakit ini banyak menjangkiti kaum ibu, baik di kota maupun di desa. Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi ini tidak terlepas dari faktor kurangnya pendidikan, opini suami dan masyarakat yang masih kurang menghargai istri. Hanya saja tidak adanya kesadaraan dari diri kaum ibu sendiri untuk memperbaiki diri menyebabkan citra ibu rumah tangga kian tercoreng.
Hebatnya Ibu
Pandangan miring terhadap peran ibu rumah tangga terlihat jelas dari banyaknya tuntutan yang diajukan oleh para feminis. Meski sebenarnya inti tuntutannya hanya satu, yaitu meminta persamaan hak dan kewajiban seperti pria.
Secara fisik dan mental tak dapat dipungkiri, wanita dan pria memang sangat berbeda. Wajar bila tugas, hak dan kewajiban kedua Makhluk Allah ini berbeda. Setiap yang diciptakan Allah selalu memiliki keistimewaan sendiri. Pria yang memiliki fisik jauh lebih kuat dari wanita, dapat menjadi pelindung, yang menjaga kehormatan seorang wanita. Dia pun dapat mencari nafkah untuk keluarganya, serta berjuang untuk menegakkan panji-panji agama Allah.
Sedang wanita? dengan kelembutan hati yang Allah karuniakan padanya, ia dapat memacu semangat suaminya dan kelurganya yang sedang berjuang. Dia pula yang menjaga rumah tangga dan kehormatan suaminya. Dari rahimnyalah terlahir mujahid-mujahid yang bahkan setingkat Abu Bakar Siddiq. Ditangannya pula terdidik pemimpin-pemimpin yang tangguh seperti Umar Bin Abdul Aziz, ulama-ulama yang hebat seperti Imam Syafi’i.
Wanita adalah makhluk Allah yang sangat hebat. Ingatlah hadits Rasulullah yang artinya, “Wanita adalah tiang negara, apabila dalam sebuah negara wanitanya baik, maka jayalah ia, namun apabila wanita di dalamnya buruk, maka hancurlah negara itu”.
Kehebatan seorang wanita makin tak terbantahkan kala Rasulullah memerintahkan kaum muslim untuk memuliakan kedudukan seorang ibu. Masih kurang kah semua itu? Semua itu lebih dari cukup. Bukankah tak ada yang paling mulia, selain mulia dihadapan Allah dan RasulNya?
Lihatlah keadaan yang selama ini terjadi, sekian banyak wanita yang meminta kebebasan meninggalkan rumah tangganya untuk mencari ketenaran diluar rumah. Buahnya, muncullah generasi yang kurang kasih sayang dan kelembutan seorang ibu. Akibatnya narkoba merajalela, tawuran di sana-sini, pergaulan bebas, seakan telah menjadi menu kita sehari-hari. Itukah wujud keperkasaan seorang wanita?
Bila demikian, masihkah kita merasa hina tinggal di rumah?
Oleh : Ustadzah Amin Justiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar