Sabtu, 05 Desember 2009

Candi- candi Jogja yang Eksotik

Ada dua jenis candi di Indonesia, candi Hindu dan candi Budha. Sebagian besar candi-candi di Yogyakarta merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan agung di abad ke-8 dan 9. Ini adalah beberapa candi-candi yang ada di yogyakarta yang bisa dijadikan objek wisata sejarah yang menarik.

1.Borobudur, Candi Budha Terbesar di Abad ke-9

Siapa tak kenal Candi Borobudur? Candi Budha ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Jutaan orang mendamba untuk mengunjungi bangunan yang termasuk dalam World Wonder Heritages ini. Tak mengherankan, sebab secara arsitektural maupun fungsinya sebagai tempat ibadah, Borobudur memang memikat hati.
Borobudur dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Berdasarkan prasasti Kayumwungan, seorang Indonesia bernama Hudaya Kandahjaya mengungkapkan bahwa Borobudur adalah sebuah tempat ibadah yang selesai dibangun 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak masa awal dibangun. Nama Borobudur sendiri menurut beberapa orang berarti sebuah gunung yang berteras-teras (budhara), sementara beberapa yang lain mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi.
Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.
Bagian dasar Borobudur, disebut Kamadhatu, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Empat tingkat di atasnya disebut Rupadhatu melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka. Sementara, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang disebut Arupadhatu, melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. Bagian paling atas yang disebut Arupa melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief indah yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief itu akan terbaca secara runtut bila anda berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, yaitu Ramayana. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).
Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha. Karenanya, candi ini dapat dijadikan media edukasi bagi orang-orang yang ingin mempelajari ajaran Budha. YogYES mengajak anda untuk mengelilingi setiap lorong-lorong sempit di Borobudur agar dapat mengerti filosofi agama Budha. Atisha, seorang budhis asal India pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini.
Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut "The Lamp for the Path to Enlightenment" atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.
Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa mengatakan Borobudur awalnya berdiri dikitari rawa kemudian terpendam karena letusan Merapi. Dasarnya adalah prasasti Kalkutta bertuliskan 'Amawa' berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi. Beberapa yang lain mengatakan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi.
Dengan segala kehebatan dan misteri yang ada, wajar bila banyak orang dari segala penjru dunia memasukkan Borobudur sebagai tempat yang harus dikunjungi dalam hidupnya. Selain menikmati candinya, anda juga bisa berkeliling ke desa-desa sekitar Borobudur, seperti Karanganyar dan Wanurejo untuk melihat aktivitas warga membuat kerajinan. Anda juga bisa pergi ke puncak watu Kendil untuk dapat memandang panorama Borobudur dari atas. Tunggu apa lagi? Tak perlu khawatir gempa 27 Mei 2006, karena Borobudur tidak terkena dampaknya sama sekali.

2. Candi Mendut

Candi Mendut terletak 3 km ke arah timur dari Candi Borobudur, merupakan candi Budha yang dibangun tahun 824 Masehi oleh Raja Indera dari wangsa Syailendra. Di dalam Candi Mendut terdapat 3 (tiga) patung besar.
  1. Cakyamuni yang sedang duduk bersila dengan posisi tangan memutar roda dharma.
  2. Awalokiteswara sebagai Bodhi Satwa membantu umat manusia
    Awalokiteswara merupakan patung amitabha yang berada di atas mahkotanya, Vajrapani. Ia sedang memegang bunga teratai merah yang diletakkan di atas telapak tangan.
  3. Maitreya sebagai penyelamat manusia di masa depan
Ada cerita untuk anak-anak pada dinding-dindingnya. Candi ini sering dipergunakan untuk merayakan upacara Waisak setiap Mei pada malam bulan purnama dan dikunjungi para peziarah dari Indonesia maupun manca negara.
Candi ini lebih tua dari Candi Borobudur. Arsitekturnya persegi empat dan mempunyai pintu masuk di atas tangganya. Atapnya juga persegi empat dan bertingkat-tingkat, ada stupa di atasnya.

3. Prambanan, Candi Hindu Tercantik di Dunia

Candi Prambanan adalah bangunan luar biasa cantik yang dibangun di abad ke-10 pada masa pemerintahan dua raja, Rakai Pikatan dan Rakai Balitung. Menjulang setinggi 47 meter (5 meter lebih tinggi dari Candi Borobudur), berdirinya candi ini telah memenuhi keinginan pembuatnya, menunjukkan kejayaan Hindu di tanah Jawa. Candi ini terletak 17 kilometer dari pusat kota Yogyakarta, di tengah area yang kini dibangun taman indah.
Ada sebuah legenda yang selalu diceritakan masyarakat Jawa tentang candi ini. Alkisah, lelaki bernama Bandung Bondowoso mencintai Roro Jonggrang. Karena tak mencintai, Jonggrang meminta Bondowoso membuat candi dengan 1000 arca dalam semalam. Permintaan itu hampir terpenuhi sebelum Jonggrang meminta warga desa menumbuk padi dan membuat api besar agar terbentuk suasana seperti pagi hari. Bondowoso yang baru dapat membuat 999 arca kemudian mengutuk Jonggrang menjadi arca yang ke-1000 karena merasa dicurangi.
Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara, halaman kedua memiliki 224 candi.
Memasuki candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan menemui 4 buah ruangan. Satu ruangan utama berisi arca Siwa, sementara 3 ruangan yang lain masing-masing berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda yang diceritakan di atas.
Di Candi Wisnu yang terletak di sebelah utara candi Siwa, anda hanya akan menjumpai satu ruangan yang berisi arca Wisnu. Demikian juga Candi Brahma yang terletak di sebelah selatan Candi Siwa, anda juga hanya akan menemukan satu ruangan berisi arca Brahma.
Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi Wisnu. Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama Garuda. Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu (berarti 'terbit' atau 'bersinar', biasa diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).
Kemampuan menyelamatkan itu yang dikagumi oleh banyak orang sampai sekarang dan digunakan untuk berbagai kepentingan. Indonesia menggunakannya untuk lambang negara. Konon, pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara lain yang juga menggunakannya untuk lambang negara adalah Thailand, dengan alasan sama tapi adaptasi bentuk dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah Krut atau Pha Krut.
Prambanan juga memiliki relief candi yang memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.
Sama seperti sosok Garuda, Kalpataru kini juga digunakan untuk berbagai kepentingan. Di Indonesia, Kalpataru menjadi lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Bahkan, beberapa ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri Hita Karana untuk pelestarian lingkungan dengan melihat relief Kalpataru di candi ini. Pohon kehidupan itu juga dapat ditemukan pada gunungan yang digunakan untuk membuka kesenian wayang. Sebuah bukti bahwa relief yang ada di Prambanan telah mendunia.
Kalau cermat, anda juga bisa melihat berbagai relief burung, kali ini burung yang nyata. Relief-relief burung di Candi Prambanan begitu natural sehingga para biolog bahkan dapat mengidentifikasinya sampai tingkat genus. Salah satunya relief Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) yang mengundang pertanyaan. Sebabnya, burung itu sebenarnya hanya terdapat di Pulau Masakambing, sebuah pulau di tengah Laut Jawa. Lalu, apakah jenis itu dulu pernah banyak terdapat di Yogyakarta? Jawabannya silakan cari tahu sendiri. Sebab, hingga kini belum ada satu orang pun yang bisa memecahkan misteri itu.
Nah, masih banyak lagi yang bisa digali di Prambanan. Anda tak boleh jemu tentunya. Kalau pun akhirnya lelah, anda bisa beristirahat di taman sekitar candi. Tertarik? Datanglah segera. Sejak tanggal 18 September 2006, anda sudah bisa memasuki zona 1 Candi Prambanan meski belum bisa masuk ke dalam candi. Beberapa kerusakan akibat gempa 27 Mei 2006 lalu kini sedang diperbaiki.

4. Candi Tara, Peninggalan Budha Tertua di Yogyakarta

Banyak orang selalu menyebut Borobudur saat membicarakan bangunan candi Budha. Padahal, ada banyak candi bercorak Budha yang terdapat di Yogyakarta, salah satu yang berkaitan erat dengan Borobudur adalah Candi Tara. Candi yang terletak di Kalibening, Kalasan ini dibangun oleh konseptor yang sama dengan Borobudur, yaitu Rakai Panangkaran. Karena letaknya di daerah Kalasan, maka candi ini lebih dikenal dengan nama Candi Kalasan.
Selesai dibangun pada tahun 778 M, Candi Tara menjadi candi Budha tertua di Yogyakarta. Candi yang berdiri tak jauh dari Jalan Yogya Solo ini dibangun sebagai penghargaan atas perkawinan Pancapana dari Dinasti Sanjaya dengan Dyah Pramudya Wardhani dari Dinasti Syailendra. Selain sebagai hadiah perkawinan, candi itu juga merupakan tanggapan usulan para raja untuk membangun satu lagi bangunan suci bagi Dewi Tara dan biara bagi para pendeta.
Candi Tara adalah bangunan berbentuk dasar bujur sangkar dengan setiap sisi berukuran 45 meter dan tinggi 34 meter. Bangunan candi secara vertikal terdiri dari tiga bagian, yaitu kaki candi, tubuh candi dan atap candi. Bagian kaki candi adalah sebuah bangunan yang berdiri di alas batu berbentuk bujur sangkar dan sebuah batu lebar. Pada bagian itu terdapat tangga dengan hiasan makara di ujungnya. Sementara, di sekeliling kaki candi terdapat hiasan sulur-suluran yang keluar dari sebuah pot.
Tubuh candi memiliki penampilan yang menjorok keluar di sisi tengahnya. Di bagian permukaan luar tubuh candi terdapat relung yang dihiasi sosok dewa yang memegang bunga teratai dengan posisi berdiri. Bagian tenggaranya memiliki sebuah bilik yang di dalamnya terdapat singgasana bersandaran yang dihiasi motif singa yang berdiri di atas punggung gajah. Bilik tersebut dapat dimasuki dari bilik penampil yang terdapat di sisi timur.
Bagian atap candi berbentuk segi delapan dan terdiri dari dua tingkat. Sebuah arca yang melukiskan manusia Budha terdapat pada tingkat pertama sementara pada tingkat kedua terdapat arca yang melukiskan Yani Budha. Bagian puncak candi berupa bujur sangkar yang melambangkan Kemuncak Semeru dengan hiasan stupa-stupa. Pada bagian perbatasan tubuh candi dengan atap candi terdapat hiasan bunga makhluk khayangan berbadan kerdil disebut Gana.
Bila anda mencermati detail candi, anda juga akan menjumpai relief-relief cantik pada permukaannya. Misalnya relief pohon dewata dan awan beserta penghuni khayangan yang tengah memainkan bunyi-bunyian. Para penghuni khayangan itu membawa rebab, kerang dan camara. Ada pula gambaran kuncup bunga, dedaunan dan sulur-suluran. Relief di Candi Tara memiliki kekhasan karena dilapisi dengan semen kuno yang disebut Brajalepha, terbuat dari getah pohon tertentu.
Di sekeliling candi terdapat stupa-stupa dengan tinggi sekitar 4,6 m berjumlah 52 buah. Meski stupa-stupa itu tak lagi utuh karena bagiannya sudah tak mungkin dirangkai utuh, anda masih bisa menikmatinya. Mengunjungi candi yang sejarah berdirinya diketahui berdasarkan Prasasti Candi yang berhuruf Panagari ini, anda akan semakin mengakui kehebatan Rakai Panangkaran yang bahkan sempat membangun bangunan suci di Thailand.
Candi ini juga menjadi bukti bahwa pada masa lalu telah ada upaya untuk merukunkan pemeluk agama satu dengan yang lain. Terbukti, Panangkaran yang beragama Hindu membangun Candi Tara atas usulan para pendeta Budha dan dipersembahkan bagi Pancapana yang juga beragama Budha. Candi ini pulalah yang menjadi salah satu bangunan suci yang menginspirasi Atisha, seorang Budhis asal India yang pernah mengunjungi Borobudur dan menyebarkan Budha ke Tibet.

5. Candi Plaosan, Candi Kembar di Yogyakarta

Anda tak perlu terburu-buru kembali ke penginapan usai berkunjung ke Candi Prambanan, sebab tidak jauh dari candi Hindu tercantik di dunia itu anda juga akan menemui candi-candi lain yang sama menariknya. Melaju ke utara sejauh 1 km, anda akan menemui Candi Plaosan, sebuah candi yang dibangun oleh Rakai Pikatan untuk permaisurinya, Pramudyawardani. Terletak di Dusun Bugisan Kecamatan Prambanan, arsitektur candi ini merupakan perpaduan Hindu dan Budha.
Kompleks Plaosan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan Kidul. Kedua candi itu memiliki teras berbentuk segi empat yang dikelilingi oleh dinding, tempat semedi berbentuk gardu di bagian barat serta stupa di sisi lainnya. Karena kesamaan itu, maka kenampakan Candi Plaosan Lor dan Kidul hampir serupa jika dilihat dari jauh sehingga sampai sekarang Candi Plaosan juga sering disebut candi kembar.
Bangunan Candi Plaosan Lor memiliki halaman tengah yang dikelilingi oleh dinding dengan pintu masuk di sebelah barat. Pada bagian tengah halaman itu terdapat pendopo berukuran 21,62 m x 19 m. Pada bagian timur pendopo terdapat 3 buah altar, yaitu altar utara, timur dan selatan. Gambaran Amitbha, Ratnasambhava, Vairochana, dan Aksobya terdapat di altar timur. Stupa Samantabadhara dan figur Ksitigarbha ada di altar utara, sementara gambaran Manjusri terdapat di altar barat.
Candi Plaosan Kidul juga memiliki pendopo di bagian tengah yang dikelilingi 8 candi kecil yang terbagi menjadi 2 tingkat dan tiap-tiap tingkat terdiri dari 4 candi. Ada pula gambaran Tathagata Amitbha, Vajrapani dengan atribut vajra pada utpala serta Prajnaparamita yang dianggap sebagai "ibu dari semua Budha". Beberapa gambar lain masih bisa dijumpai namun tidak pada tempat yang asli. Figur Manujri yang menurut seorang ilmuwan Belanda bernama Krom cukup signifikan juga bisa dijumpai.
Bagian Bas relief candi ini memiliki gambaran unik pria dan wanita. Terdapat seorang pria yang digambarkan tengah duduk bersila dengan tangan menyembah serta figur pria dengan tangan vara mudra dan vas di kaki yang dikelilingi enam pria yang lebih kecil. Seorang wanita ada yang digambarkan sedang berdiri dengan tangan vara mudra, sementara di sekelilingnya terdapat buku, pallet dan vas. Krom berpendapat bahwa figur pria wanita itu adalah gambaran patron supporter dari dua wihara.
Seluruh kompleks Candi Plaosan memiliki 116 stupa perwara dan 50 candi perwara. Stupa perwara bisa dilihat di semua sisi candi utama, demikian pula candi perwara yang ukurannya lebih kecil. Bila berjalan ke bagian utara, anda bisa melihat bangunan terbuka yang disebut Mandapa. Dua buah prasati juga bisa ditemui, yaitu prasasti yang di atas keping emas di sebelah utara candi utama dan prasasti yang ditulis di atas batu di Candi Perwara baris pertama.
Salah satu kekhasan Candi Plaosan adalah permukaan teras yang halus. Krom berpendapat teras candi ini berbeda dengan teras candi lain yang dibangun di masa yang sama. Menurutnya, hal itu terkait dengan fungsi candi kala itu yang diduga untuk menyimpan teks-teks kanonik milik para pendeta Budha. Dugaan lain yang berasal dari para ilmuwan Belanda, jika jumlah pendeta di wilayah itu sedikit maka mungkin teras itu digunakan sebagai sebuah wihara (tempat ibadah umat Budha).
Jika melihat sekeliling candi, anda akan tahu bahwa Candi Plaosan sebenarnya merupakan kompleks candi yang luas. Hal itu dapat dilihat dari adanya pagar keliling sepanjang 460 m dari utara ke selatan serta 290 m dari barat ke timur, juga interior pagar yang terdiri atas parit sepanjang 440 m dari utara ke selatan dan 270 m dari barat ke timur. Parit yang menyusun bagian interior pagar itu bisa dilihat dengan berjalan ke arah timur melewati sisi tengah bangunan bersejarah ini.

6. Membaca Pesan dari Nirwana di Candi Gampingan

Tak semua candi memiliki relief cantik yang khas sebab umumnya hanya dihias oleh arca dan relief umum yang terdapat hampir di semua candi. Salah satu yang memiliki relief cantik yang khas itu adalah Candi Gampingan, sebuah candi yang ditemukan secara tak sengaja oleh pengrajin batu bata di Dusun Gampingan, Piyungan, Bantul pada tahun 1995. Meski ukurannya kecil dan sudah tak utuh lagi, Candi Gampingan masih kaya akan relief yang mempesona.
Salah satu relief cantik yang bisa dijumpai di candi ini adalah relief hewan yang ada di kaki candi. Relief hewan di Gampingan begitu natural hingga bisa diketahui jenis hewan yang digambarkan. Cukup jarang candi yang memiliki relief demikian, setidaknya hanya Candi Prambanan dan Mendut yang dikenal memiliki relief serupa. Semua relief itu dihias dengan latar sulur-suluran, yaitu padmamula (akar tanaman teratai) yang diyakini sebagai sumber kehidupan.
Saat YogYES berkeliling, tampak jenis hewan yang mendominasi adalah burung. Terdapat relief burung gagak yang tampak memiliki paruh besar, tubuh kokoh, sayap mengembang ke atas dan ekor berbentuk kipas. Ada pula relief burung pelatuk yang digambarkan memiliki jambul di atas kepala, paruh yang agak panjang dan runcing serta sayap yang tidak mengembang. Selain itu, ada juga ayam jantan yang memiliki dada membusung dan sayap mengembang ke bawah.
Pembuatan relief burung dalam jumlah banyak di candi ini berkaitan keyakinan masyarakat saat itu terhadap kekuatan transedental burung. Diyakini, burung merupakan perwujudan para dewa sekaligus pembawa pesan dari alam para dewa atau nirwana. Burung juga berkaitan dengan kebebasan absolut manusia yang dicapai setelah berhasil meninggalkan kehidupan duniawi, lambang jiwa manusia yang lepas dari raganya.
Relief hewan lain yang juga banyak digambarkan adalah katak. Masyarakat saat itu percaya bahwa katak memiliki kekuatan gaib yang mampu mendatangkan hujan, sehingga katak juga dipercayai mampu meningkatkan produktivitas, karena air hujan yang didatangkan katak bisa meningkatkan hasil panen. Katak yang sering muncul dari air juga melambangkan pembaharuan kehidupan dan kebangkitan menuju arah yang lebih baik.
Hingga kini, relief itu masih menyisakan pertanyaan, apakah sebuah fabel (cerita hewan yang didongengkan pada anak-anak) seperti di Candi Mendut atau gambaran hewan yang sengaja dibuat untuk menunjukkan maksud tertentu. Pertanyaan itu muncul sebab gambaran hewan seperti di Candi Gampingan tak ditemukan dalam kitab yang memuat fabel, seperti Jataka, Sukasaptati, Pancatantra dan versi turunannya.
Candi Gampingan yang diperkirakan dibangun antara tahun 730 - 850 M diyakini merupakan tempat pemujaan Dewa Jambhala (Dewa Rejeki, anak Dewa Siwa). Hal itu didasari oleh penemuan Arca Jambhala ketika penggalian. Jambhala digambarkan sedang dalam keadaan semedi, tubuhnya duduk bersila sementara matanya terpejam. Bagian tubuhnya dihiasi oleh unsur ikonografis (asana) berupa bunga teratai yang memiliki daun berjumlah 8 helai sebagai lambang cakra dalam tubuh manusia.
Figur Jambhala di candi ini berbeda dengan yang ada di candi lainnya. Umumnya, Jambhala di candi lain digambarkan dengan mata lebar yang menatap ke arah pemujanya disertai dengan beragam hiasan yang melambangkan kemakmuran dan kemewahan. Diyakini, penggambaran berbeda ini didasari oleh motivasi pemujaan, bukan untuk memohon kemakmuran tetapi bimbingan agar dapat mencapai kebahagiaan sejati.
Mengunjungi Candi Gampingan akan membawa kita merenungkan kembali tentang jalan yang sudah kita tempuh untuk menuju kebahagiaan dan kesejahteraan. Relief yang didominasi bentuk hewan yang hidup di alam sekitarnya bisa jadi merupakan wujud kearifan masyarakat setempat pada jaman itu dalam merepresentasikan sebuah pesan dari nirwana: untuk hidup sejahtera dan terhindar dari bencana, manusia seharusnya menjaga keselarasan dengan alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar